Minggu, 20 Februari 2011

Renungan Hari ini

SUAP-MENYUAP DALAM BISNIS


“Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.” (Filipi 3:12)

Salah satu isu penting yang mencuat kepermukaan saat ini dalam bidang hukum dan peradilan di tanah air adalah soal Suap-Menyuap yang sejodoh dengan Pungli (pungutan liar). Bagian yang tidak terpisahkan dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang sekarang merupakan target pemerintah untuk di berantas.
Bagaimanakah sikap kristiani menghadapi salah satu perilaku bisnis yang bukan saja menggejala tetapi sudah merupakan jalan hidup apa yang disebut sebagai ‘ekonomi biaya tinggi’ yang sudah melekat dalam budaya bisnis di Indonesia?

Menghadapi masalah suap-menyuap, setidaknya kita memiliki dua kutub ekstrim, dimana di satu sisi orang berdasarkan pola ‘win-win-solution’ menganggap bahwa suap-menyuap adalah soal biasa dan tidak apa-apa selama kedua belah pihak di untungkan. Pandangan ini memang bersifat Machiavellian yang bersemboyan ‘tujuan menghalalkan cara.’ Yang jelas praktek yang menganggap praktek suap-menyuap adalah biasa sudah kita lihat sebagai penyebab keruntuhan ekonomi negara dan bangsa Indonesia, dan soal inipun yang sekarang ingin diberantas.
Dimanakah posisi umat Kristen menghadapi dilema ini? Dilema yang menyebabkannya terperosok kepada buah simalakama yaitu ‘maju kena, mundur kena,’ suatu kondisi praktek perekonomian yang mau tidak mau harus dilakukan kalau kita hidup di Indonesia. Mulai dari membuat KTP, Izin Bangunan, SIM, Perpanjangan STNK, Pajak sampai mengurus Perizinan Usaha maupun praktek berusaha, seseorang tidak bisa lepas dari adanya praktek Suap-Menyuap dan Pungli.

Ada pengusaha Kristen yang berpendapat bahwa: (1) Karena kita berada di Indonesia dimana kita tidak bisa mengubah apa-apa, maka ikut serta dalam kebiasaaan ekonomi secara umum adalah biasa dan wajar; (2) Ada juga mengusaha yang mengatakan bahwa kalau kita menyuap untuk mengubah kepatutan hukum maka itu dosa, namun kalau kita sudah mengurus mengikuti kepatutan hukum dan karena pejabat bersangkutan membutuhkan biaya karena gajinya kecil ya tidak salah melakukannya; dan (3) Ada juga yang berpendapat, bahwa seorang Kristen yang lahir baru dilarang ikut terjun mempraktekkan suap-menyuap atau pungli karena itu dosa.
Yang manakah dari ketika praktek bisnis itu yang kita ikuti? Yang jelas, pertama kita sudah tahu bahwa membiarkan praktek suap-menyuap dan pungli seperti sekarang tentu menyedihkan hati Tuhan karena praktek demikian menguntungkan penguasa dan pengusaha tetapi sudah jelas merusak ekonomi bangsa dan negara. Lalu bagaimana dengan praktek kedua yang kelihatannya lebih manusiawi, disatu sisi kita tidak berbuat dosa dengan mengubah kepatutan hukum, tetapi kita dapat membantu para petugas lapangan yang miskin agar mereka bisa ikut menikmati keuntungan bisnis yang diperoleh.

Jelas pula praktek kedua ini tidak beda dengan praktek pertama, sebab bagaimana kita dapat membedakan mana perilaku suap yang mengubah kepatutan hukum dan mana yang tidak, soalnya batas antara keduanya adalah tipis dan tumpang tindih, kedua praktek ini tidak lain adalah praktek berdasarkan ‘etika situasi’. Bagaimanapun, orang yang menyuap karena kasihan tentu tujuannya agar prosesnya diperlancar dan konsekwensinya adalah mereka yang tidak bisa menyuap alias tiadanya dana atau miskin jelas akan selalu dirugikan karena berkasnya akan ditumpuk di bagian yang terbawah yang kemungkinan tidak akan naik-naik alias prosesnya akan terhambat.

Tapi apakah alternatif ketiga dapat dilakukan? Melihat nafas Injil agar kita melakukan ‘Ya di atas ya dan tidak di atas tidak’ kelihatannya kekristenan menolak praktek suap-menyuap dan pungli dan menganggapnya sebagai dosa yang tidak patut dilakukan oleh umat Kristen. Tetapi, apakah seorang kristen bisa sama sekali lepas dari praktek suap-menyuap dan pungli demikian?
Kita harus menyadari bahwa fakta menunjukkan bahwa tidak mungkin seseorang di Indonesia terbebas sama sekali dari praktek suap-menyuap maupun pungli. Tetapi, lalu bagaimana kita bisa berbisnis dan tidak melanggap perintah Tuhan agar kita hidup lurus dihadapan-Nya tanpa menyimpang ke kanan maupun kekiri?

Kelihatannya Alkitab memberi jalan keluar dalam hal ini. Alkitab tidak mengajarkan hitam-putih secara ekstrim, melainkan praktek hitam yang harus ditobatkan dan mengubahnya menjadi praktek putih yang diperkenan Allah. Rasul Paulus dalam suratnya menyebut:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2).
Apakah etika yang Yesus ajarkan bertentangan dengan yang diajarkan oleh Paulus, soalnya Paulus masih memiliki reserve dalam etikanya ketika ia mengatakan:
“Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu dipikirkan, tetapi hendaklah kamu berfikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” (Roma 12:3).
Rupanya apa yang diajarkan Yesus memang itulah yang harus dilakukan umat Kristen agar kita tidak berbuat dosa dengan tidak melakukan suap-menyuap maupun pungli, ini adalah tujuan akhir kebenaran, sebagai gawang (goal) bagi permainan sepak bola. Namun Rasul Paulus menyadari bahwa tidak semua orang memiliki kadar iman yang sama. Baik Tuhan Yesus maupun rasul Paulus mengajarkan mengenai proses pertumbuhan rohani, dari benih diatas tanah berbatu-batu sampai ke tanah yang baik, dari kanak-kanak sampai dewasa, jadi baik Tuhan Yesus maupun para Rasul lainnya melihat iman bukan sekedar sebagai realita hitam-putih, tetapi realita ‘hitam bertumbuh menuju putih.’
Apa yang dikatakan rasul Paulus dalam Roma 12:3 menunjukkan agar kita berfikir sesuai taraf pertumbuhan kita, artinya bila kita memandang soal suap-menyuap dan pungli, kita harus tetap menganggapnya sebagai dosa dan tujuan hidup kita adalah mencapai goal kehidupan yang jujur dan bersih. Namun, Paulus mensyaratkan bahwa untuk mencapai itu ada proses dan sekalipun seorang Kristen tetap harus menganggap ‘yang salah adalah salah’ ia mendorong umat Kristen untuk menjauhi dosa itu sesuai kadar iman masing-masing sampai mencapai kesempurnaan. Jadi bukan seorang yang bertobat langsung bisa berperilaku putih bersih, tetapi seseorang yang mulai beriman akan mengalami pergumulan untuk terus menerus memperbaiki perilakunya sehingga ia dapat berpindah dari dosa kepada kebenaran.
Rasul Paulus dalam suratnya kepada orang Korintus fasal 8 juga berbicara mengenai pengetahuan Kristen, bagaimana orang yang baru beriman masih belum memiliki pengetahuan dan masih beriman lemah, namun ia mendorong umat Kristen agar terus bertumbuh agar dapat mencerna makanan keras.
Dalam perikop bacaan di atas, rasul Paulus berbicara mengenai Kebenaran yang Sejati (Filipi 3:1b-16) yang kita peroleh ketika kita masuk iman sehingga ia melepaskan segala sesuatu yang lama yang sekarang dianggapnya sampah agar ia memperoleh Kristus (ayat-8). Sikap ini timbul bukan karena mengikuti peraturan Torat yang hitam-putih, tetapi timbul karena kepercayaan kepada Kristus dan anugerah kebenaran Allah (ayat-9). Kelihatannya kalau perikop ini diaplikasikan dalam masalah suap-menyuap dan pungli, rasul Paulus mengajarkan kepada kita untuk rela mengalami penderitaan, jadi kalau berbisnis dan urusan ditolak atau dipersulit karena kerinduan kita untuk hidup makin hari makin baik, maka rasanya kita harus menerimanya dengan syukur. Rasul Petrus pun menyebut penderitaan karena iman kita itu baik daripada kita menderita karena mencuri atau berbuat jahat (1Petrus 4:15-16). Akhirnya rasul Paulus mengajak kita agar terus menerus melupakan yang dibelakang dan mengarahkan kepada tujuan (goal) yang ada dihadapan. Dengan demikian kita makin sempurna dalam sikap bisnis kita dari pelaku suap-menyuap dan pungli menjadi seorang yang berbisnis benar sesuai kehendak Tuhan Yesus! Amin!

http://chrisna.blogdetik.com/2008/07/05/suap-menyuap-dalam-bisnis/